Saturday, January 16, 2010

ATLANTIS Jejak Sejarah Pengetahuan Manusia

Gempa Bumi dan Tsunami merupakan suatu tragedi dahsyat dimasa itu bahkan sampai hari ini seperti kita ketahui pada tanggal 26-12-2004 yang lalu yang menimpa Serambi Mekah Aceh. Dengan jumlah korban yang mencapai hampir 350 ribu di berbagai wilayah Aceh dan negara-negara sekitarnya, maka tidak mengherankan bahwa peristiwa gempa bawah lautyang diikuti oleh Tsunami disebut oleh para ahli gempa sebagai "Pembunuh Yang Tidak Pernah Gagal". Ketika gempa melanda wilayah pantai utara Athena, kerusakan yang terjadi digambarkan oleh beberapa ahli sejarah di kemudian hari sebagai suatu gempa yang hebat. Dalam peristiwa tersebut pulau Atalante yang menjadi benteng pertahanan dan pelabuhan laut Athena hancur. Ahli sejarah dikemudian hari seperti Diodorus Siculus (abad ke-1 SM) dan Starbo (abad ke-1 Masehi) melaporkan bahwa Pulau Atalante terbentuk sebagai konsekuensi dari gempa bawah laut yang menimbulkan gelombang Tsunami. Peperangan, gempa bumi dan akhirnya epidemi penyakit pada akhirnya melumpuhkan Athena dan kawasan sekitarnya. Menurut catatan sejarah, Perang Poloponesia secara resmi diakhiri pada tahun 404 SM, meskipun demikian bentrokan kecil masih sering terjadi sampai ditandatanginya nota perdamaian pada tahun 387 SM. Beberapa tahun kemudian, 373 SM di kawasanyang sama terjadi kembali gempa bumi dahsyat yag diikuti dengan tsunami yang merusak wilayah Helike dan Bura, 2 buah kota yang berada di sekitar sebelah utara teluk Corinth, sekitar 150 km dari Athena. Jadi, dalam kisah Atlantis sebenarnya Plato sedang menggambarkan suatu jiwa manusia yang sifatnya umum yang ada dalam setiap manusia ketika kekuasaan tertinggi mulai dimilikinya, membawa kesenangan, sampai akhirnya membuat manusia lupa diri tentang asal dan usul penciptaannya. Dalam hal ini, Plato sebagai seorangyang bijak sadar benar bagaimana cara untuk mengungkapkan gagasan arketipalnya, gagasan mendasarnya, tentang misi manusia di Planet Bumiyang kemudian diungkapkan dalam bentuk dialog dan kisah didalamnya sebagai meta-imajinasi atau kisah dalam kisah yang kelak menjadi ciri khas bagaimana dalang wayang, sutradara film dan teater mengungkapkan suatu gagasan karena sadar bahwa manusia umumnya lebih menyukai kisah-kisahyang terlihat menjadi sangat mitologik, fantasianik, teaterikal, wayangkulitik, filmologik, dan sinetronik dengan gagasan dasar dunia adalah panggung sandiwara alias Realitas The Matrix. Namun, Plato juga menyadari bahwa kisahnya mesti merupakan suatu pembelajaranyang mendidik supaya manusia menggunakan akal pikiran dan hatinya sehingga ungkapan-ungkapan metaforiknya suatu saat kelak akan dapat mengungkapkannya. Sejarah di sekelilingnya seperti kisah peperangan Sparta dan Yunani, epidemi penyakit, gempa bumi hebat, dantsunami mengilhaminya untuk melukiskan suatu stereotipe bagaimana manusia berkembang secara komunal dengan membangun negara-negara kotayang satu sama lain akhirnya saling berseteru dan terlibat peperangan, untuk kemudian bencana alam terjadi, dan akhirnya memusnahkan satu kaum dan peradabannya, dengan meninggalkan jejak-jejak sejarahyang menjadi kisah dan legenda yang didengar oleh generasi selanjutnya. Oleh karena itu, penulisan kisah Atlatis oleh Plato dalam trilogi Republic-Critias-Timaeus menjadi suatu buku dengan modelyang bukan sekedar memiliki bukti yang sahih saja, namun juga dari realitas manusia sebagai makhluk sosial yang berada dalam suatu tatanan kemasyarakan yang kelak diungkapkan Plato sebagai Timaeous dan Republic.

Dalam banyak segi, kisah Atlantis Plato sebenarnya bukan sekedar menunjukkan adanya suatu sejarah pergolakan antara suatu kaum dengan kaum lainnya, maupun reaksi alam kepada manusia, namun berkaitan langsung dengan kondisi piskologis manusianya secara individualyang membangun suatu kelompok dan akhirnya membangun sistem sosial. Republic karena itu merupakan utopia suatu sistem sosial dan tata kenegaraanyang sangat ideal, sebagai sumber pengetahuan dan ilham bagaimana manusia sebagai makhluk sosial kelak akan berkembang dengan segala konsekuensinya dimana skenario paling pahit adalah tenggelam dalam kehancuran karena ulahnya sendiriyang mengabaikan tatanan keseimbangan ideal tanpa cacat atau Golden Ratio, atau aman tentram dan sejahteraan dalam suatu Taman Eden yang Gemah Ripah Loh Jinawi.

Metafora Plato yang diungkit dari gagasan idealnya bukanlah suatu metafora tanpa konsep maupun tanpa fakta. Di zamannya, ia mengamati keadaan diselilingnya tempat di mana ia dilahirkan, Plato mengetahuidari perjalanan hidupnya berkunjung ke wilayah-wilayah sumber peradaban Kuno mulai Mesir, Babyonia, bahkan mungkin sampai India, China dan boleh jadi ia memasuki Wilayah Indonesia dengan tanda Gunung Runcingyang besar di selat Sunda yaitu Krakatau yang angker untuk melihat langsung bentuk-bentuk peradaban yang ada. Dari pengalaman tersebut, kisah dan fakta yang ditemui Plato akan bersinggungan dengan kawasan-kawasan mati, hancur, dan luluh lantak padahal dulunya nampak sangat maju. Di kawasan Yunani sendiri misalnya terdapat sisa-sisa peradabanyang hancur lebur yang tertinggal dalam kenangan manusia menjadi kisah dan legenda-legenda Yunani. Bahkan sampai hari inipun kisah dan legenda satu peradaban karena dilibas peradaban lainnya masih banyakkita lihat dan kita dengar seperti peradabankaum Amazonian dan Atlantis.

0 comments:

Post a Comment